Aku dan Buku

Catatan tentang dunia buku

Kamis, Juni 03, 2010
Anton Solihin, Pragmatisme Akut Mahasiswa terhadap Perpustakaan

Perpustakaan itu terletak di Jalan Pramoedya Ananta Toer 142. Tentu saja, nama jalan ini tidak tercantum dalam peta di kawasan Jatinangor, Kab. Sumedang. Sebuah kawasan pendidikan yang dikelilingi oleh institusi pendidikan macam Universitas Padjadjaran, Universitas Winaya Mukti, Institut Kope-rasi Indonesia, dan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis besar dan terkemuka di Indonesia, ditahbiskan menjadi "jalan fiksi" penanda alamat perpustakaan ini.

Perpustakaan itu bernama Batu Api. Begitu kita menginjakkan kaki masuk ke dalam, ruang berukuran se-kitar 7x6 meter dipenuhi oleh banyaknya rak buku. Mayoritas buku-buku yang ada di perpustakaan ini merupakan kajian-kajian humaniora (sejarah, filsafat, budaya, agama, politik, dsb.). "Yang enggak ada cuma komik Jepang," tutur Anton Solihin, empunya perpustakaan ini. Selain buku-buku bertema humaniora, terdapat juga kumpulan kliping koran dan majalah yang telah terbundel rapi. Misalnya, tiga bundel kliping Majalah musik Aktuil, hingga klipingan koran mulai dari tentang dangdut, budaya daerah, hingga soal politik.

Perpustakaan ini pun tak hanya menyajikan buku, tetapi juga pelbagai film-film yang menandai dunia art-ci-nema modern ini. Kita bisa menemukan koleksi film-film sineas Prancis macam film-nya "Bande a Part" karya Jean Luc Godard, atau film "Jules and Jim" karya Francois Truffaut, atau karya-karya dari Robert Bresson, Jacques Tati, Jem Renoir, hingga karya-karya film mulai dari Italia hingga ranah Skandinavia bahkan dunia sinema Asia seperti India, Cina, Iran, Korea, dan Jepang tertata dalam koleksi perpustakaan ini. Bahkan tak hanya dari tanah asing, perpustakaan ini pun dengan baik menyimpan dan mendokumentasikan film-film berkualitas dari tanah sendiri macam "Bandung Lautan Api" (Alam Surawidjaja, 1974), "Kabut Sutra Ungu" (Sjuman Djaja, 1979), hingga "Secangkir Kopi Pahit" (Teguh Karya, 1985). "Koleksi dalam perpustakaan ini untuk buku sekitar 8.000 judul, kalau film sekitar 2.000 judul, kalau musik lupa deh berapa yah," ujar Anton.

Perpustakaan yang berdiri sejak tahun 1999 ini memang menjadi oase di tengah kekakuan perpustakaan formal yang ada di institusi kampus-kampus. Apalagi Jatinangor sebagai sebuah kawasan pendidikan berada di simpang jalan ketika hadirnya mal Jatinangor Town Square seakan menjadi daya magnet tersendiri bagi para mahasiswa di kawasan Jatinangor diban-ding dengan maraknya komunitas li-terasi atau jumlah perpustakaan di kawasan tersebut. "Paling-paling juga banyak rental komik dibandingkan dengan perpustakaan yang banyak tersebar di Jatinangor," ujar Anton.

Wawancara yang dilakukan pada Selasa (1/6) di Perpustakaan Batu Api dengan sang pengelola Anton Solihin ini banyak menyoroti soal apreasi daya baca hingga alam pikir praktis dan pragmatis dunia mahasiswa dalam menyelami dunia perpustakaan.



Apa sih yang paling penting dalam sebuah penyelenggaraan perpustakaan?

Yang paling penting itu apresiasi. Apresiasi jadi penekanan penting dalam penyelenggaraan perpustakaan karena berdasarkan pengalaman saya, banyak orang yang tidak mengenal buku, film, dan musik yang bagus dan berkualitas. Penyebabnya mungkin saja karena sejak pendidikan dasar tidak dididik untuk memiliki rasa ingin tahu yang besar. Banyak kasus seperti ini di dunia mahasiswa jadinya. Mereka tidak memiliki rasa ingin tahu dan kebutuhan akan informasi yang lebih luas. Misal, banyak mahasiswa sejarah yang tidak menyukai kesejarahan atau banyak mahasiswa sastra Inggris yang tidak suka sastra-sastra Inggris.

Sebagai perpustakaan yang berdiri di kawasan pendidikan dan dikelilingi banyak kampus, apakah ini menjadi paradoks bagi para mahasiswa dalam mengapresiasi perpustakaan itu sendiri?

Pada saat awal saya buka perpustakaan, harapan saya besar terhadap keberadaan perpustakaan ini. Apalagi berdiri di kawasan pendidikan kayak Jatinangor. Saya berharap akan menjadi penyalur informasi dan menyediakan referensi tersendiri. Koleksi perpustakaan ini merupakan buku-buku yang saya dapat banyak di tempat buku bekas kayak di Palasari atau Cihapit. Namun, awalnya saya tidak begitu ambil pusing untuk kebutuhan mahasiswa. Misal, ketika saya dapat komplet majalah Intisari atau dapat buku-buku humaniora tua, tetapi ternyata kebanyakan mahasiswa tidak tertarik dengan hal-hal semacam itu. Setelah saya amati, ternyata kebutuhan mahasiswa itu sangat praktis. Misalnya, seorang mahasiswa sedang mendapat tugas untuk meneliti keris, maka yang ia cari di koleksi perpustakaan ini yaitu buku yang berjudul keris. Ia tidak akan mau ketika disodori buku misalnya mengenai benda-benda tajam. Yah, analoginya seperti itu. Jadi, akhirnya lima tahun terakhir saya mencoba untuk beradaptasi dan mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan semacam itu. Ketika kebutuhan mahasiswa jurusan sastra Rusia untuk mendapatkan buku-buku sastra Rusia itu susah mereka dapat di perpustakaan kampusnya, akhirnya saya perbanyak buku-buku sastra Rusia berbahasa Indonesia. Atau buku-buku naskah drama atau buku lingkungan, yang memang tidak tersedia di perpustakaan kampus mereka. Banyak kasus menarik kayak gitu.

Karena kebutuhan dunia mahasiswa yang terlalu praktis dan pragmatis, bagaimana mengakomodasi kebutuhan mahasiswa?

Ketika saya mencari-cari buku, berdasarkan selera pribadi saya dulu tentu saja buku yang bakal saya pilih. Kadang saya tidak peduli jika buku itu ternyata tidak dipinjam oleh mahasiswa. Saya berpikir, hanya untuk "menyelamatkan" atau mendokumentasikan buku-buku langka tersebut. Kemudian saya berpikir untuk menekankan apresiasi para mahasiswa terhadap buku-buku. Beberapa tahun lalu, saya banyak membeli buku-buku psikoanalisis macam Erich Fromm dan Sigmund Freud atau buku-buku semiotika Roland Barthes. Awalnya, jarang banget yang pinjam. Namun sekarang, ternyata mengalami lonjakan sangat tajam karena kajian itu memang lagi tren di dunia mahasiswa jurusan sosial. Dulu, di perpustakaan ini saya menyediakan komik-komik Jepang, tetapi ternyata itu jadi tekanan tersendiri. Itu menuntut update tiap minggu. Itu yang memberatkan. Malah banyak mahasiswa yang justru meminjam komik Jepang dibandingkan dengan buku. Sekarang, komik itu sudah saya hilangkan sehingga di sini hanya tersedia buku teks saja.

Apa perbedaan kentara dengan kehadiran mal di Jatinangor bagi perpustakaan Batu Api. Keberadaan sebuah perpustakaan di kawasan pendidikan yang tarik-menarik dengan sebuah mal yang lebih banyak menawarkan sisi hiburan, apa yang menjadi daya saing perpustakaan untuk menarik minat mahasiswa itu sendiri?

Tekanan seperti itu memang terasa. Sekarang setelah terbangunnya mal Jatinangor Town Square (Jatos), hiburan bagi para mahasiswa jadi lebih mudah. Mal telah menyediakan dan menyajikan pelbagai hiburan yang menarik minat mahasiswa. Kalau yang saya perhatikan, dulu sebelum berdirinya mal banyak komunitas-komunitas di Jatinangor yang rutin menyelenggarakan acara kayak bedah buku atau nonton film bareng, tetapi sekarang kuantitasnya memang jadi berkurang. Namun tetap saja, saya melihat perpustakaan Batu Api dilihat dari sisi alternatif. Tiap malam kita memutarkan film yang notabene tidak akan tayang di bioskop dalam mal. Saya melihat justru ruang-ruang kecil macam perpustakaan Batu Api ini sebagai sepercik perlawanan. Sebab, yang saya lihat sekarang kondisi sosial ini seperti diseragamkan. Seperti tiap saya pergi kemanapun saya seolah dibombardir dengan pelbagai budaya popular yang cenderung seragam. Tiap kali saya makan di restoran musiknya melayu macam ST12, atau pergi ke mal musiknya juga pop melayu yang sama. Untuk itu, saya melihat perpustakaan Batu Api menyediakan alternatif pilihan bagi para mahasiswa dalam mengkonsumsi informasi agar konstruksi sosial yang terjadi tidaklah begitu seragam, misalnya kalau mau mendengarkan musik Sunda buhun atau gamelan bisa datang ke Batu Api.

Lantas apa yang membuat Batu Api bisa bertahan?

Salah satu yang membuat Batu Api bisa bertahan karena memang saya tidak mengontrak sewa tempat. Ini murni merupakan rumah saya pribadi. Banyak komunitas-komunitas di Jatinangor yang membuat hal serupa, misal bikin perpustakaan-perpustakaan di Jatinangor, tetapi mereka cepat kolaps karena memang biaya sewa tempat yang begitu mahal. Pendapatan memang belum bisa diharapkan banyak.

Ketika informasi sudah menjadi sesuatu yang penting, apa yang Anda lihat dari daya baca mahasiswa?

Tidak banyak berubah. Dunia mahasiswa sudah terlalu akut dengan cara praktis dan pragmatismenya. Mahasiwa datang dan pinjam buku sebatas untuk tugas kuliah atau buku yang memang dikonstruksi positif oleh media. Ketika media bilang buku ini bagus, baru mulai banyak diburu orang. Masih sangat jarang muncul inisiatif dari mahasiswa untuk mencari informasi di luar konteks tugas kuliah atau skripsi. Namun, saya melihat perpustakaan ini memang menjadi sebuah pilihan lain dari perpustakaan-perpustakaan formal di kampus. Kayak, anak-anak dari jurusan eksakta (matematika, fisika, kimia) datang ke sini karena memang mencari buku-buku humaniora yang tidak disediakan di perpustakaan mereka. Perpustakaan-perpustakaan formal di kampus-kampus itu sangat kaku. Maksudnya, hanya menyediakan buku-buku yang sesuai dengan jurusan mereka. Jadinya, mahasiswanya juga begitu. Anak sastra Inggris hanya baca buku-buku sastra Inggris, anak Fisip hanya baca-baca buku soal demokrasi dan politik, atau anak Fikom hanya baca buku seputar komunikasi. Padahal ilmu itu sudah sangat multidimensi. Namun, alam pikir praktis dan pragmatis di dunia kampus itu sudah sangat kuat di dunia mahasiswa jadinya. Apalagi dengan munculnya internet. Yah, dunia praktis dan pragmatis makin tambah jadi. (Idhar Resmadi) ***
posted by htanzil @ 6/03/2010 12:54:00 PM  
1 Comments:
  • At 8:12 PM, Blogger Nurul Maria Sisilia said…

    Saya menjadi anggota BAtu Api sejak tahun 2012 (saat ini, 2015, sudah 3 tahun. alhamdulillah). Batu Api memang oase yang menenangkan di tengah hiruk-pikuk kota. Pustakawannya, Bang Anton dan Teh Arum, membuat perpustakaan ini tetap hidup sebab selain membaca di perpustakaan saya pun bisa berdiskusi panjang lebar dengan beliau. Tentu, hal serupa tidak bisa ditemukan di perpustakaan formal di kampus. Semoga Batu Api terus menginspirasi :))

     
Posting Komentar
<< Home
 










Pemilik Pondok
Sang Pemilik : htanzil
Tinggal di : Bandung, Indonesia
Rumah Utama : Buku Yang Kubaca


Lihat Profil Lengkap
Jam Dinding

Ruang Bicara


10 Tulisan Terbaru
Rak Penyimpanan
Jaringan
Serba Serbi

Free Blogger Templates



BLOGGER