Buntelan kali ini dari Penerbit Kepik Ungu,Depok. Dalam statusnya di FB, penerbit ini menyatakan diri sebagai Penerbit buku-buku sosial-humaniora yang mencoba "berbau menyengat" layaknya Kepik.
Ada tiga buah buku menarik yang dibuntelkan padaku. Bukunya tipis2 saja tapi judul dan temanya menarik perhatianku untuk segera membacanya. Dua buku ada kaitannya dengan sepak bola yang kini sedang heboh Piala Dunia, dan satu lagi buku ttg Starbucks dan pengaruhnya terhadap globalisasi.
Terima kasih untuk Mas Geger Riyanto yang mengirimkan buku ini padaku, saat ini saya sedang membaca yang Globucksisasi, menarik!
Berikut deskripsi ketiga bukunya :
Judul : Globucksisasi (Meracik Globalisasi melalui Secangkir Kopi) Penulis : Rahayu Kusasi Penerbit : Kepik Ungu Cetakan : I, Juli 2010 Tebal : 148 hlm
Di tangan Ayu, antropologi dibawa sebagi alat untuk mengerti denyut budaya bersenyawa dengan industri dan perputaran modal berwujud sebuah gerai kopi: Starbucks. Di satu sisi, Ayu membuat alas cangkir menjadi seluas konteks ekonomi-politik global. Di sisi lain, dengan going native menjadi barista. Ayu menggiring kita masuk ke sebuah dapur sempit yang sangat "terisolalisasi" : dunia yang membutuhkan kecepatan, ketepatan, dan pengukuran sebagai bagian dari ambisius dari pelayanan cita rasa dan aroma uap kopi. Sebuah dunia yg sedikit orang tahu.
Kontribusi Ayu dalam bereksperimen dengan membawa dirinya sebagai situs penelitian bukan saja menjadikan buku ini sebagai etnografi yang nikmat dibaca, tapi juga penting secara metodologis.
- Iwan Meulia Pirous, antorpolog UI-
******
Judul : Afrika Gila Bola (Politik Sepak Bola Tuan Rumah Piala Dunia) Penulis : Connie M. Anderson, dkk Penerbit : Kepik Ungu Cetakan : I, Mei, 2010 Tebal : 167 hlm
Buku ini memuat sejumlah penelitian yang mengungkap keajaiban persepakbolaan Afrika. Dalam bab 1 buku ini, Justin van der Merwe membahas bagaimana perjalanan politik Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Van der Merwe mengurai apa-apa saja kepentingan bisnis dan politik yang tersembunyi di balik pemilihan penyelenggara Piala Dunia, dan bagaimana Afrika Selatan dengan cerdik memberi tawaran yang tak mungkin diabaikan FIFA.
Bab 2 memuat tulisan Connie M. Anderson dan rekan-rekannya tentang peran sepak bola dalam membentuk gairah kebangsaan Afrika Selatan. Pada masa penjajahan kaum kulit putih, sepak bola dikenal sebagai olahraga yang dimainkan oleh semua lapisan masyarakat. Seseorang yang mengenakan kostum tim sepak bola akan disambut dengan obrolan hangat oleh para warga kulit hitam, dan diberi pertolongan cuma-cuma bila ia membutuhkannya. Menurut warga yang diwawancarai oleh para peneliti, di Afrika Selatan, sepak bola adalah agama.
Bab 3, tulisan Paul Darby, membahas mengenai peran Afrika di tengah-tengah dinamika kekuasaan dalam FIFA, badan persepakbolaan dunia. Paul Darby membahas bagaimana kekuatan Afrika dalam badan tersebut mempunyai peranan yang amat besar dalam merenggut kekuasaan FIFA dari tangan Eropa. Sepp Blatter, Presiden FIFA sekarang, dengan sepenuh hati mendukung pengembangan sepak bola di Afrika. Seandainya ia punya wewenang penuh untuk menentukan siapa tuan rumah Piala Dunia, maka Piala Dunia 2006 pastinya tidak akan diselenggarakan di Jerman—melainkan Afrika.
Dan setelah ketiga bab di atas membicarakan rahasia-rahasia Afrika Selatan untuk meraih hak penyelenggara Piala Dunia, bab 4 berbicara mengenai praktek perdukunan dalam persepakbolaan masyarakat kota Afrika Selatan. Pengikutsertaan tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana masyarakat Afrika mengafrikanisasi olahraga yang identik dengan Eropa dan modernisasi ini—selain juga tulisan ini cukup menghibur, karena mengungkapkan berbagai fenomena perjumpaan tradisionalitas dan modernitas yang menggelitik.
*****
Judul : Sepak Bola Palestina (Sejarah Ringkas Sepak Bola Arab-Palestina di Wilayah Kekuasaan Israel) Penulis : Tamir Sorek Penerbit : Kepik Ungu Cetakan : I, Maret 2010
Buku ini mengungkapkan bagaimana sepak bola membentuk hubungan di antara dua bangsa yang selalu menjadi sorotan dunia.Olah raga yang pada awalnya di manfa'atkan para elite Palestina untuk membangun nasionalisme bangsanya ini,selepas perang 1948 yang berakhir dengan kekalahan pahit pihak Arab,di kooptasi penguasa baru Zionis untuk berbagai kepentingannya-termasuk menghambat terbentuknya sentimen kearaban.
Kendati kemudian penguasa berhasil menghalau ekspresi nasionalisme Palestina yang eksplisit dalam persepakbolaan,tetapi orang-orang Yahudi harus menerima bahwa,"tidak ada Arab,tidak ada gol".Para lelaki berdarah arab telah menjadi pemain-pemain terbaik di tim-tim Yahudi.Keberhasilan para pemain-pemain Arab-bahkan beberapa menjadi pehlawan tim nasional Yahudi-merupakan satu ledekan yang jitu bahwa persepakbolaan yahudi bertumpu di bawah persepakbola Arab.