Aku dan Buku

Catatan tentang dunia buku

Senin, April 23, 2007
Bertemu Kang Sigit di TB. Ultimus

Bertemu Kang Sigit di TB. Ultimus


Bertemu Kang Sigit lagi!
Jika dihitung, pertemuanku dengan kang Sigit kemarin adalah yang ketiga kalinya. Jadi dimulai dari tahun 2004 di Kafe You dalam rangka peluncuran buku "Sosialisme di Kuba" - Sigit Susanto, 2005 - di TB Ultimus dalam rangka acara berbagai pengalaman kang sigit toko-toko buku di mancanegara, 2006 - di TB Ultimus dalam peluncuran buku "Menyusuri Lorong-Lorong Dunia - Sigit Susanto, dan di 2007 ini dalam suasana yang santai dan menyenangkan. Kang Sigit memang kerap 'pulang' ke tanah air setahun sekali. Saat ini ia bermukim di sebuah kota di Swiss

Berbeda dengan pertemuan di tahun-tahun lalu, kali ini suasananya tekesan lebih santai karena Kang Sigit tidak terikat dalam sebuah acara apapun, jadi benar-benar bebas berbincang dengannya sepuasnya!
Ketika aku tiba di Ultimus mingu siang, TB Ultimus tampak sepi, kucari kang sigit diantara rak-rak buku, hingga ke dapur, kamar mandi, halaman samping, tak kutemukan!. Akhirnya kutelpon saja. Ternyata kang sigit ada di ruang sebelah, dia sedang berbincang-bincang dengan seorang tua eks pejuang yang pernah di 'PKI'-kan oleh pemerintah Orba.

Kang Sigit segera keluar menyambutku, dia tampak segar dan santai sekali dengan kaos oblong hitam dan celana pendek hijaunya. Diajaknya aku masuk dan di ruang sebelah tampak sudah ada Pak Samsir, Puthut EA, Deni (Lawang Buku), Bilven (owner ultimus), dan seorang awak ultimus lainnya.

Rupanya Puthut sedang mewawancarai Pak Samsir, entah untuk cerpen, entah untuk essai yang pasti kisah-ksiah yang diceitakan Pak Samsir sangat menarik dan mengingatkanku akan sosok Pram yang juga gemar bercerita tentang masa lalunya lengkap dengan kritik-kritik tajamnya pada keadaan sekarang ini.
Pembicaraan itu diselingi oleh petir yang menggelegar dan disusul dengan hujan yang deras. Untunglah kami tetap hangat ebrkat sgelas kopi Aroma yang disediakan oleh tuan rumah.Tak lama setelah hujan sedikit reda muncullah seorang apsasian yang selalu tampil 'sumringah' (tersenyum). Mang Jamal dengan tersenyum memasuki ruangan dan bergabung dengan kami.

Karena tampaknya pembicaraan dengan Pak Samsir dan Puthut EA akan berlangsung lama, akhirnya aku, Mang Jamal disusul Kang Sigit memutuskan untuk memisahkan diri ke ruang TV dimana Ultmus kerap memutar film. Di ruang TV sudah ada seorang apsasian lain yi. Widzar Al-Ghifary (maaaf kalau salah menulis nama), dia tampak sibuk sedang membuat rok yang ditempeli oleh produk2 kemasan (kapal api, torabika,indomie,dll) yang akan digunakan untuk memperingati Hari Bumi.

Akhirnya kami berempat terlibat pembicaraan menarik. Seperti biasa Kang Sigit selalu membawa cerita-cerita menarik hasi dari perjalanannya terutama yang berkaitan dengan dunia buku dan sastra. Diperlihatkannya buku-buku dari penerbit Swiss yang bersedia menerbitkan buku-buku dari penulis Indonesia. Tampaknya Kang Sigit berniat untuk memperkenalkan sastra Indonesia ke publik berbahasa Jerman dan dia tampak antusias sekali untuk menjalankan misinya ini.

Selain itu Kang Sigit juga memperlihatkan poster-poster sastrawan dan yang paling menarik poster tetnang perpustakaan antik dari abad lampau dengan dekor barok yang konon di belakang perpustakaan itu ada penjara tempat menghukum mereka yang kedapatan mencuri buku di perpustakaan itu. Wow!
Cerita terus mengalir, sempat juga Kang Sigit memeprlihatkan foto2 gereja di Portugal yang dibuat dari tulang-tulang manusia....hiiiii

Pembicaraan terus mengalir, hujan semakin deras, namun suasana tetap hangat. Tak ketinggalan kita juga berbicara tentang milis Apsas, tentang strategi ke depan, dan juga kang sigit mengingatkan akan misi awal Apsas yang harus mengutamakan penulis-penulis baru, pendatang-pendatang baru agar diberi support untuk terus berkarya. Tak lama warga Apsasian Bandung lainnya, Deni (Lawang Buku) ikut nimbrung menghangatkan suasana

Tak terasa jam demi jam kami lewati, walau masih betah berbincang-bincaing akhirnya setelah hujan reda dan langit sudah tampak gelap aku memutuskan diri untuk undur diri. Maklum aku sudah janji pada anakku agar tidak pulang kemalaman. Sebelum pulang kami sempat berfoto dulu bersama para Apsasian Bandung. Setelah selesai berfoto-foto kamipun saling berjabat tangan dan berjanji untuk bertemu kembali tahun depan.

Rasanya pertemuanku dengan kang Sigit kali ini yang paling lama dan paling puas karena tak dibatasi oleh waktu seperti tahun2 sebelumnya. Sangat menarik, bahkan aku dan kang sigit sepat berbicara empat mata dengan beliau mengenai Apsas, Imajio dan pembicaraan-pembicaraan pribadi lainnya.

Demikian kesan dan kisahku ketika bertemu kang sigit untuk yang ketiga kalinya, dan aku berharap masih ada kesempatan di masa yg akan datang untuk kembali berbicang-bincang dengannya.

Tak sabar juga menunggu tulisan2 kang sigit tenang perjalanannya menyusuri lorong-lorong dunia..akankah ada buku kedua mengenai kisah perjalanannya ? Dari pembicaraan semalam tampaknya akan ada...kapan? Tampaknya kang sigit tak mau terburu-buru dan berkomitmen untuk meningkatkan mutu tulisannya di buku berikutnya...

Kita tunggu saja, dan kita doakan agar kisah-kisah perjalanannya segera dibukukan kembali....



Ket :
Foto dari kiri ke kanan Tanzil, Deni, Jamal, Sigit, Widzar.

@h_tanzil

posted by htanzil @ 4/23/2007 11:06:00 AM   1 comments
Rabu, April 18, 2007
Pada Sebuah Kapal Buku
Pada Sebuah Kapal Buku

Oleh Muhidin M Dahlan

Laut adalah penanda puncak peradaban Nusantara dan sekaligus menabalkan negeri ini beroleh gelar unik dan satu-satunya di dunia, sebagaimana dirumuskan M Jamin dalam sefrase judul sajaknya: “TANAH AIR”. Dari laut lalu muncul tradisi, pengetahuan, dan juga wibawa. Hanya di laut meritokrasi bekerja secara alamiah dan apa adanya. Sebab di laut, resultan antara navigasi (pengetahuan), keberanian (psike), dan keterampilan (pengalaman) berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi.
Karena itu seseorang, misalnya, tak bisa seenaknya mengaku-ngaku kapitan kapal andal karena laut akan langsung segera mengujinya dengan perubahan-perubahan cuaca yang begitu cepat dan tak terduga usai sauh dinaikkan dari bandar. Hanya mereka yang punya sangu yang bisa mengatasi risiko itu. Laut membuat seorang manusia bisa berdiri tegak dengan pengetahuan otonom yang dimilikinya. Seperti Kertanegara yang bangga dan penuh percaya diri menyerahkan perlindungan kekuasaannya dengan serdadu Dipantara yang berjaga di dua ketiak samudera Nusantara.
Namun di laut jualah maut datang silih berganti tak putus-putus. Di sana, cerita horor tentang buih gelombang yang disekujur ujungnya terselip belati-belati kematian dituturkan dengan meringis di pelbagai halaman surat kabar. Lalu laut bukan hanya kurir pengirim alamat buruk bagi nasib, tapi juga penyuntik trauma dan ketakutan yang panjang. Ia adalah teror yang menggendam nyali hingga ringsek.
Takkan pernah terlupa di ujung Banda pada purnama akhir 2004, laut menerkam daratan hingga nyaris menghapus letak kota dari peta. Ratusan ribu korban diciduk paksa yang membuat kita dan dunia ngungun seperti tak berdaya mendapati serangan laut tiba-tiba di Ahad pagi itu.
Pada 25 Januari 1981, laut Masalembo membakar dan mengaramkan KMP Tampomas II. Peristiwa yang memangsa 600 manusia itu dikenal sebagai tragedi laut terbesar di Indonesia.
Rupanya peristiwa terbakarnya kapal roll on roll off atau roro KMP Lampung di Pelabuhan Merak pada 16 November 2006 silam hanya pemanasan belaka. Sebab sekira sepurnama kemudian (29 Desember 2006), atau 76 tahun setelah Tampomas II, Masalembo kembali menjungkat KM Senopati Nusantara yang sarat penumpang dan barang. Hanya dalam hitungan menit kapal kecil yang dilambungnya bertulis “We Love Indonesia” ini meluncur mencium dasar laut dan merenggut nyawa sekira 450 penumpangnya.
Belum lekang media mengulas kecelakaan ini, kabar pada Kamis 22 Februari 2007 datang menyeradak. Kapal Levina I terbakar di Perairan Seribu dan menciduk nyawa 50-an orang. Kecelakaan ini pun antiklimaks, sebab dua hari setelah terbakar kapal ini terjungkat bersama para penyelidik kecelakaan dan wartawan peliput.
Berita-berita maut dari laut ini ditulis dan ditayangkan secara dramatis hari per hari dan seakan berlomba dengan berita sengak dari udara, seperti raibnya pesawat Adam Air di dasar laut Makassar dan terpanggangnya Garuda di kebon kacang Adi Sutjipto Yogyakarta.
Kabar buruk dari laut itu pun kian sempurna ketika akhir tahun silam mencuat kabar bagaimana si mantan penjaga mercusuar laut, Rokhmin Dahuri, diseret ke bui atas tuduhan menyalahgunakan rezeki bahari.
Lantas bagaimana berharap munculnya kreativitas mengelola dan hidup seirama laut jika kita senantiasa dikurung rasa takut dan sekaligus rasa muak kepada pemangku mercusuar laut yang rakus?

Pelni dan Indonesia Satu
Jika kita berbicara tentang laut yang menyatukan daratan Indonesia, maka BUMN bernama PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) tak bisa ditampik perannya. Kapal-kapal merekalah yang siang-malam tak kenal lelah terus melayari dan menyinggahi pelabuhan-pelabuhan kecil di pelosok-pelosok Nusantara.
Maka agak mengherankan ketika muncul perdebatan di seminar atau di kolom-kolom koran tentang pengelolaan pulau-pulau terluar, Pelni sama sekali tak disinggung.
Ambil misalnya diskusi buku Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan pada 18 November 2006 silam di Banda Aceh yang menghadirkan pembicara, antara lain Pemimpin Redaksi Harian Kompas Suryopratomo, Spesialis Perbatasan Negara Kolonel Rusdi Ridwan Dipl Cart, ahli hukum kelautan Universitas Padjajaran Prof Dr Hasjim Djalal, dan Pakar Fisika Laut Universitas Syiah Kuala Prof Dr Syamsul Rizal.
Banyak hal yang menarik, informatif, dan kaya, yang mengemuka dalam diskusi itu. Namun Pelni tetap tak punya tempat. Tiadanya yang menyinggung peran Pelni mungkin disebabkan lantaran tengah bergulat dengan kutukan beberapa kalangan untuk menutup saja BUMN ini lantaran terus merugi.
Dibandingkan dengan perusahaan pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Matschappij (KPM), yang notabene sodara tuanya, Pelni memang tak ada apa-apanya, baik dari segi armada maupun trayek. Pelni disebut-sebut sebagai BUMN jago kandang.
Namun Pelni bukan semata soal bisnis, tapi juga soal budaya dan politik. Kompas edisi 28 April 2004 sudah menurunkan panjang lebar soal bisnis Pelni yang nyaris sekarat ini dan hal itu tak usah diulang di sini. Yang patut digarisbawahi ialah apa jadinya kalau Indonesia yang dipagari 17 ribu pulau dan lebih 250 pelabuhan ini tak memiliki kapal-kapal penumpang?
Belum lagi jika meledak kerusuhan antaretnis seperti Ambon, Galela, Timor Timur, Sampit, hingga bencana besar seperti Tsunami Aceh, kapal-kapal Pelni-lah yang pertama-tama turun langsung dengan semangat “padamu negeri” membawa balabantuan atau mengungsikan ribuan penduduk.
Pendek kata, Pelni adalah pertaruhan politik nasionalisme pemerintah. Bagaimana pun keadaannya, pemerintah tetap memberi subsidi penuh kepada Pelni. Karena kedatangan kapal-kapal putih berbendera Pelni itulah warga di pelabuhan-pelabuhan pelosok itu tetap merasa bahwa mereka bagian dari Indonesia Raya. Sebab mereka merasa disambangi, diperhatikan, dan sekaligus mendapat kesempatan membawa diri ke kota-kota di Indonesia yang diimpikan.

Bersama Kapal Buku Menunggang Gelombang
Kalau selama ini Pelni rutin memuntahkan manusia dan barang dari dalam perutnya, kenapa tidak sesekali ia berkaok memanggil-manggil anak-anak pulau terjauh untuk datang membaca buku, menonton film bermutu, atau melihat book exhibition dalam perutnya yang kembung itu.
Inilah kapal Pelni yang lain. Inilah kapal buku. Sudah bisa dibayangkan sejak awal bahwa pengadaan kapal-buku adalah proyek rugi. Namun ini adalah tabungan yang tak ternilai untuk masa depan (nalar) Indonesia.
Pikiran menghadirkan kapal-buku ini didorong dua alasan. Kesatu, Pelni memiliki beberapa bahtera yang sudah uzur dan tak kuat mengelilingi seluruh Indonesia. Paling-paling hanya bisa memutari satu atau dua pulau. Kedua, saat ini RUU Perpustakaan sedang digodok di Parlemen. RUU ini membahas banyak hal, terutama sekali manajemen Perpustakaan Nasional, invasi penguatan perpustakaan di daerah, serta pengadaan perpustakaan terapung.
Aduhai Saudara, mahal betul rencana kapal buku atau perpustakaan terapung itu? Memang mahal; tapi bukankah ongkos untuk itu bisa dipundaki bersama. Ringan sama dijinjing, berat bisa ditanggung dermawan kaya-raya.
Maka dari itu penting pihak Perpustakaan bekerjasama dengan Pelni. Apalagi kapal-kapal Pelni sudah banyak yang batuk-batuk. Biasanya kapal-kapal ini dihibahkan kepada Angkatan Laut. Langkah Pelni itu sudah benar. Sebab serdadu laut butuh kapal banyak untuk menjagai laut Indonesia yang luas ini. Namun sesekali boleh dong memarkir sebiji atau dua biji kapalnya di Perpustakaan.
Atau Perpustakaan bisa memakai jalan “swasta” dengan melobi orang-orang superkaya di Indonesia yang jumlahnya konon cuma 10 orang. Bisa juga kapal ini dibeli secara patungan. Misalnya, pihak perpusnas mengajukan proposal kepada ketiga maharaja media, seperti Dahlan Iskan, Jacob Utama, dan Surya Paloh. Kalau memang ini untuk kecesplengan nalar anak-anak bangsa pastilah mereka terketuk hatinya.
Bagaimana kalau uang dari 10 orang terkaya itu, ada misalnya berasal dari pendapatan yang haram atau korupsi? Gampang kok, anggap saja itu uang yang dikembalikan kepada negara.
Nah, soalnya sekarang kembali pada bagaimana para pelobi tangguh Perpustakaan mendekati mereka ini. Kerap kali sosok-sosok kaya-raya ini adalah manusia dermawan. Kita saja yang tak tahu bagaimana cara merebut hatinya untuk sekadar menyumbang sebiji kapal baru untuk kepentingan bangsa lebih besar, yakni pemerataan pengetahuan dan pencerahan akal budi manusia-manusia di Indonesia.
Lumayan kan Perpustakaan Nasional punya 10+1 kapal buku mewah yang membaca di dalamnya serasa membaca buku di kafe-kafe mewah di jantung Jakarta.
Kapal-kapal yang didapat dari Pelni atau sumbangan dari dermawan kaya-raya inilah yang kemudian disulap menjadi ruang perpustakaan lengkap dengan fasilitas pendukung seperti ruang pameran, bioskop, cafe, dan sebagainya. Nah, untuk urusan sulap-menyulap ini Perpustakaan bisa menyerahkannya pada pihak Koja Bahari, Tanjung Priok, atau PT Pal, Surabaya.
Nantinya kapal buku itu bisa dinamai dari penyumbang kapal ini: Kapal Buku DJS (berdasarkan urutan abjad, bukan kuantitas kekayaan), Kapal Buku Bakrie, Kapal Buku Liong, dan sebagainya.
Di kapal-kapal buku inilah seorang bocah di Teluk Wondama, Kab Monokwari, misalnya, akan dengan wajah berbinar memasuki kapal berpendingin dan betah seharian membaca buku. Atau menyaksikan bazar buku murah lengkap dengan acara diskusi buku dan temu pengarang beken dari kota-kota penting di Indonesia. Lalu sorenya si bocah pulang menjinjing dua biji buku cerita dan akan dikembalikan sepekan kemudian ketika kapal putih berbendera merah-putih secara reguler kembali merapat di pinggir pulau mereka.
Kehadiran kapal-buku milik Pelni dan Perpustakaan ini tak hanya menyusutkan sedikit demi sedikit rasa takut akan monster yang selalu datang dari laut, tapi juga mengabarkan bahwa di atas gelombangnya mengapung ribuan pengetahuan dan ketakjuban. Di sini, di kapal buku.

Muhidin M Dahlan, kerani di Indonesia Buku (i:boekoe) Jakarta
posted by htanzil @ 4/18/2007 03:24:00 PM   0 comments
Senin, April 16, 2007
Buku2 Kontroversial
Akhir-akhir ini banyak sekali buku-buku yang seolah menggugat kebenaran akan Kekristenan termasuk kebenaran akan keilahian Yesus sendiri. Di ranah fiksi sudah tak terhitung banyaknya, dipelopori oleh Da Vinci Code (DVC) nya Dan Brown hingga berpuluh buku yang senada dengan DVC.

Buku-buku sejenis juga kini mulai bertaburan di ranah non fiksi. Kebanyakan ditulis secara ilmiah oleh para pakarnya. Sebut Saja Injil Yudas, Misquoting Jesus- , dan yang terbaru Yesus Dinasti – James Tabor.

Tak seperti buku fiksi, buku2 ini mengundang kepenasaran saya untuk membacanya.
Berkat kebaikan Pak Nung (Marketing GPU) saya memperoleh ‘buku contoh’ Dinasti Yesus’ . Belakangan buku ini cukup heboh sampai2 Majalah tempo minggu lalu mengulasnya di lembar “Iqra”.

Bersyukur karena terbitnya buku2 yang menggugat kebenaran kekristenan tidak ditanggapi secara emosional, melainkan ‘dilawan’ kembali dengan buku-buku. Saya rasa ini sangat baik, biarlah pembaca menilai sendiri dengan membaca buku-buku tersebut, manakah yang mereka yakini ? Itu tergantung dari pemahaman si pembaca.

Salah satu buku yang ‘berlawanan’ dengan Dinasti Yesus adalah buku karya Craig A Evans, yang sudah diterjemahkan oleh Penerbit Andi dengan judul “Merekayasa Yesus”.
Kebetulan waktu jalan-jalan ke Gramedia saya lihat buku ini, dan saya beli.
Saya tidak akan mengomentari dulu mana buku yang saya anggap benar menurut pemahaman saya…biarlah saya membacanya terlebih dahulu….

@h_tanzil
posted by htanzil @ 4/16/2007 03:08:00 PM   3 comments
Jumat, April 13, 2007
Buku dari Forum Jakarta-Paris
Forum Jakarta-Paris kirim dua buku lagi :

1. Ziarah & Wali di Dunia Islam



























2. Batu Nizan Hamzah Fansuri







Yang ini bukunya tipis (30 hal) mau dibaca dulu ah.....
posted by htanzil @ 4/13/2007 11:07:00 AM   0 comments
Kamis, April 12, 2007
Durian Runtuh !
Hari Selasa kemarin aku dapat buku2 gratis dari 3 penerbit !!!
total jadi 8 bh buku!
wow, apa nggak serasa dapat durian runtuh tuh...!
Semua bagus-bagus, semua pingin langsung dibaca....

Bingung, mana dulu yang mau dibaca....????
akhirnya kuputuskan untuk baca OUT - Natsuo Kirino, beberapa kawan bilang novel ini bagus, malah dapet informasi dari endah-perca-my laotong, kalau Out bikin orang stress bacanya saking seyemnya....

bener nggak ya....? ya sudah akan kubaca dulu......

Ini daftar buku yg kuterima dari 3 penerbit :

GPU
1. Out - Natsua Kirino
2. Mandala - Pearl S. Buck
3. Neverwhere - Neil Gaiman
plus : bibliophile

Pustaka Primata (via lawang buku)
4. Intel - Ken Coyboy
5. Komik winetou #3
6. Komik Winetou # 4
7. Komik Winetou # 5

Rajut Publishing
8. The Hiden Face of Iran - Terence Ward

hmmmm...kenyang deh....:)...semakin panjang aja buku2 milikku yg belum kubaca


@h_tanzil
posted by htanzil @ 4/12/2007 10:02:00 AM   0 comments
Selasa, April 10, 2007
Wajah baru Bibliophile

Newsletter bibliophile (GPU) tampil dengan wajah baru !
Kali ini dicetak dengan format majalah, lebih keren, lebih berwarna, lebih lux, dan layak dikoleksi.

Semoga bibliophile memiliki nafas panjang untuk dapat terus hadir dan terbit secara teratur...

@h_tanzil
posted by htanzil @ 4/10/2007 03:20:00 PM   0 comments










Pemilik Pondok
Sang Pemilik : htanzil
Tinggal di : Bandung, Indonesia
Rumah Utama : Buku Yang Kubaca


Lihat Profil Lengkap
Jam Dinding

Ruang Bicara


10 Tulisan Terbaru
Rak Penyimpanan
Jaringan
Serba Serbi

Free Blogger Templates



BLOGGER