Aku dan Buku

Catatan tentang dunia buku

Rabu, Juni 23, 2010
[BUNTELAN BUKU] : Penerbit Kepik Ungu
Buntelan kali ini dari Penerbit Kepik Ungu,Depok.
Dalam statusnya di FB, penerbit ini menyatakan diri sebagai Penerbit buku-buku sosial-humaniora yang mencoba "berbau menyengat" layaknya Kepik.

Ada tiga buah buku menarik yang dibuntelkan padaku. Bukunya tipis2 saja tapi judul dan temanya menarik perhatianku untuk segera membacanya. Dua buku ada kaitannya dengan sepak bola yang kini sedang heboh Piala Dunia, dan satu lagi buku ttg Starbucks dan pengaruhnya terhadap globalisasi.

Terima kasih untuk Mas Geger Riyanto yang mengirimkan buku ini padaku, saat ini saya sedang membaca yang Globucksisasi, menarik!

Berikut deskripsi ketiga bukunya :

Judul : Globucksisasi (Meracik Globalisasi melalui Secangkir Kopi)
Penulis : Rahayu Kusasi
Penerbit : Kepik Ungu
Cetakan : I, Juli 2010
Tebal : 148 hlm

Di tangan Ayu, antropologi dibawa sebagi alat untuk mengerti denyut budaya bersenyawa dengan industri dan perputaran modal berwujud sebuah gerai kopi: Starbucks. Di satu sisi, Ayu membuat alas cangkir menjadi seluas konteks ekonomi-politik global. Di sisi lain, dengan going native menjadi barista. Ayu menggiring kita masuk ke sebuah dapur sempit yang sangat "terisolalisasi" : dunia yang membutuhkan kecepatan, ketepatan, dan pengukuran sebagai bagian dari ambisius dari pelayanan cita rasa dan aroma uap kopi. Sebuah dunia yg sedikit orang tahu.

Kontribusi Ayu dalam bereksperimen dengan membawa dirinya sebagai situs penelitian bukan saja menjadikan buku ini sebagai etnografi yang nikmat dibaca, tapi juga penting secara metodologis.

- Iwan Meulia Pirous, antorpolog UI-

******


Judul : Afrika Gila Bola (Politik Sepak Bola Tuan Rumah Piala Dunia)
Penulis : Connie M. Anderson, dkk
Penerbit : Kepik Ungu
Cetakan : I, Mei, 2010
Tebal : 167 hlm

Buku ini memuat sejumlah penelitian yang meng­ungkap keajaiban persepakbolaan Afrika. Dalam bab 1 buku ini, Justin van der Merwe membahas bagaimana perjalanan politik Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Van der Merwe mengurai apa-apa saja ke­pentingan bisnis dan politik yang tersembunyi di balik pemilihan penyelenggara Piala Dunia, dan bagaimana Afrika Selatan dengan cerdik memberi tawaran yang tak mungkin diabaikan FIFA.

Bab 2 memuat tulisan Connie M. Anderson dan rekan-rekannya tentang peran sepak bola dalam mem­bentuk gairah kebangsaan Afrika Selatan. Pada masa penjajahan kaum kulit putih, sepak bola dikenal sebagai olahraga yang dimainkan oleh semua lapisan masyarakat. Seseorang yang mengenakan kostum tim sepak bola akan disambut dengan obrolan hangat oleh para warga kulit hitam, dan diberi pertolongan cuma-cuma bila ia membutuhkannya. Menurut warga yang diwawancarai oleh para peneliti, di Afrika Selatan, sepak bola adalah agama.

Bab 3, tulisan Paul Darby, membahas mengenai peran Afrika di tengah-tengah dinamika kekuasaan dalam FIFA, badan persepakbolaan dunia. Paul Darby membahas bagaimana kekuatan Afrika dalam badan tersebut mempunyai peranan yang amat besar dalam merenggut kekuasaan FIFA dari tangan Eropa. Sepp Blatter, Presiden FIFA sekarang, dengan sepenuh hati mendukung pengembangan sepak bola di Af­rika. Seandainya ia punya wewenang penuh untuk menentukan siapa tuan rumah Piala Dunia, maka Piala Dunia 2006 pastinya tidak akan diselenggarakan di Jerman—melainkan Afrika.

Dan setelah ketiga bab di atas membicarakan rahasia-rahasia Afrika Selatan untuk meraih hak penyelenggara Piala Dunia, bab 4 berbicara mengenai praktek per­dukunan dalam persepakbolaan masyara­kat kota Afrika Selatan. Pengikutsertaan tulisan ini ber­tujuan untuk memperlihatkan bagaimana masyarakat Afrika mengafrikanisasi olahraga yang identik dengan Eropa dan modernisasi ini—selain juga tulisan ini cukup menghibur, karena mengungkapkan berbagai fenomena perjumpaan tradisionalitas dan modernitas yang menggelitik.

*****

Judul : Sepak Bola Palestina
(Sejarah Ringkas Sepak Bola Arab-Palestina di Wilayah Kekuasaan Israel)
Penulis : Tamir Sorek
Penerbit : Kepik Ungu
Cetakan : I, Maret 2010

Buku ini mengungkapkan bagaimana sepak bola membentuk hubungan di antara dua bangsa yang selalu menjadi sorotan dunia.Olah raga yang pada awalnya di manfa'atkan para elite Palestina untuk membangun nasionalisme bangsanya ini,selepas perang 1948 yang berakhir dengan kekalahan pahit pihak Arab,di kooptasi penguasa baru Zionis untuk berbagai kepentingannya-termasuk menghambat terbentuknya sentimen kearaban.

Kendati kemudian penguasa berhasil menghalau ekspresi nasionalisme Palestina yang eksplisit dalam persepakbolaan,tetapi orang-orang Yahudi harus menerima bahwa,"tidak ada Arab,tidak ada gol".Para lelaki berdarah arab telah menjadi pemain-pemain terbaik di tim-tim Yahudi.Keberhasilan para pemain-pemain Arab-bahkan beberapa menjadi pehlawan tim nasional Yahudi-merupakan satu ledekan yang jitu bahwa persepakbolaan yahudi bertumpu di bawah persepakbola Arab.

****

@htanzil
posted by htanzil @ 6/23/2010 12:51:00 PM   0 comments
Senin, Juni 21, 2010
[BUNTELAN BUKU] Serangan Jepang ke Hindia Belanda Pada Masa PD II 1942 : Perebutan Wilayah Nanyo
Berawal dari status Mas Din (Syafruddin Azhar) di FB kl beliau sedang diajak diskusi oleh seoang Jenderal senior soal buku Sejarah Militer akhirnya saya baru tahu kl Prenada sudah menerbitkan buku seri Sejarah Militer yang ditulis oleh Letjen TNI (Purn) Himawan Sutanto dkk pada 2009 dan telah dicetak ulang pd Maret 2010 yg lalu

Komentar2 antara aku dan Mas Din akhirnya berujung pada niatan Mas Din untuk memberikan buku seri pertama Sejarah Militer itu kepadaku..oow! langsung saja saat itu aku berteriak (dalam hati) kegirangan..hehe.

Ternyata apa yang dijanjikan Mas Din itu segera terwujud. Selang beberapa hari saja sebuntel buku dari Penerbit Prenada sampai ke tanganku. Dan akupun melakukan ritual berjoged-joged ria sambil memegang-megang buku itu, tak lupa aku pamer ke istriku dan sms sahabat terdekat untuk berbagi kegembiraan karena memperoleh buku yang bagus dan bermutu ini.

Buku setebal 488 halaman ini tampaknya dipersiapkan dan dikemas dengan sangat baik, kualtias cetak dan lay outnya enak dibaca. foto2nya tersaji dengan jelas, bahkan beberapa foto dan ilustrasi tersaji secara full colour! Menarik! Rencananya seri ini akan terbit dalam dua atau tiga jilid.

Menurut pengakuan sang Editor buku ini, walau ini buku serius tapi ditulis secara menarik dan narasinya, tidak membosankan seperti buku pelajaran sejarah. Bahkan buku ini , "Dikisahkan seperti novel (thriller) sejarah yang menegangkan (seperti film Hollywood)", imbuhnya.

Penasaran? Berikut deskripsi buku ini :

Judul : Serangan Jepang ke Hindia Belanda Pada Masa PD II 1942 : Perebutan Wilayah Nanyo
Penulis :
Letjen TNI (Purn) Himawan Soetanto, MM., M.Hum
Mayjen TNI (Purn) Bantu Hardjijo, SIP
Brigjen TNIAgus Gunaedi Pribadi
Penerbit : Prenada Media Group
Cetakan : II, Mei 2010
Tebal : xxxvi, 488 hlm

Buku Serangan Jepang ke Hindia Belanda pada Perang Dunia II 1942 : Perebutan Wilayah Nanyo menghadirkan rangkaian fakta penting sejarah invasi dan pergerakan militer Jepang di Asia umumnya, Hindia Belanda khususnya dlam mewujudkan ambisi “Asia Timur Raya”.

Analisis sejarah tersebut menguak adigum klasik militer bahwa keterpaduan antara kekuatan, kecermatan perencanaan, dan ketajaman intelejen di bawah komando yang efektif mampu mengantar Jepang meaklukkan wilayah Nanyo (Samudera Selatan)

Dibagi dalam tiga belas bab. Bab demi bab merupakan rantai kesatuan dari latar belakang historis ambisi pembentukan Asia Timur Raya, situasi dan kondisi Jepang menjelang perang, proses, perencanaan, dan pelaksanaan seranga Jepang pada 8 Desember 1941 ke Pearl Harbor, hingga serangan kilat Jepang ke Nanyo dan Filipina dan reaksi serta strategi ABDACOM terhadap ekspansi militer Jepang

**--**

@htanzil
http://bukuygkubaca.blogspot.com
posted by htanzil @ 6/21/2010 01:32:00 PM   0 comments
Kamis, Juni 17, 2010
[BUNTELAN BUKU] : Lanun-lanun Karibia - Mila Duchlun
Dua buah buku Puisi berjudul "Lanun-Lanun Karibia" karya Mila Duchlun dibuntelkan kepadaku. Di buku puisi ini aku sempat menorehkan endorsmentku sbb :

Membaca rangkaian puisi Mila Duchlun bagaikan melakukan tamasya kata, ada banyak hal yang dapat kita nikmati. Ada gelora cinta anak manusia, persahabatan, cinta pada sang Khalik, keindahan alam, kondisi sosial,dll. Semuanya dirawi secara puitis sehingga membuat kita berkelana kemanapun sang penyair menorehkan pena imajinya .

Hernadi Tanzil,
book blogger & book reviewer

Ini adalah buku puisi kedua yang kuendors, terima kasih untuk kesempatan yg diberikan Mbak Mila untuk mengendors buku ini, sebuah kehormatan bagi saya. Terima kasih juga karena telah mengusahakan agar buku ini sampai ke tanganku dengan selamat.

Lanun-Lanun Karibia merupakan buku kumpulan puisi kedua Mila Duchlun yang berisi 117 puisi dengan beragam tema. Buku pertamanya adalah Perempuan Bersayap - 2006. Puisi-puisinya pernah dimuat di Media Indonesia, Bali Post, Riau Post. Batam Post, Majalah Imajio, dan berbagai antologi Puisi. Kini Mila Duchlun menetap di Tanjungpinang dan aktif di Dewan Kesenian Kota Tanjungpinang.

Mila Duchlun beberapa tahun yang lampau pada peringatan 17 Agustus pernah menulis puisi berjudul "Bendera" yang ditulisnya di Samudera Hindia di kedalaman 17 m di bawah laut sambil mengibarkan Sang Saka Merah Putih.

Berikut deskripsi buku ini :

Judul : Lanun - Lanun Karibia
Penulis : Mila Duchlun
Penerbit: Bisnis2030
Cetakan : Mei 2010

Mengenal Mila Duchlun akan menjadi lebih menarik dan memikat jika di sertai dengan keinginan memahami lebih jauh dan dalam terhadap puisi-puisinya, sisi lain dari karakter itu jika di ibaratkan seorang penari Mila Duchlun telah mengaktualkan diri meretas dinamika terhadap ruang, waktu, dan irama. Upaya merangkai rasa dan kata dalam Lanun-Lanun Karibia pantas dan layak dinyatakan sebagai sebuah realita estetika bahasa MD.


Said Parman,
Ketua Dewan Kesenian Kota Tanjungpinang



"Mila berhasil mengubah persoalan sederhana dengan bahasa yang juga sederhana, menjadi penuh makna dengan metafor yang cukup memikat. Tak banyak penyair yang bisa melakukan itu, dan Mila adalah salah satu dari yang tak banyak itu..."

Hary B Kori'un,
Redaktur Budaya Harian Riau Pos




Membaca Sajak-sajak Lanun-Lanun Karibia menyirat berbagai tema. Limbai kata-kata dalam sajaknya sederhana tetapi belaran bahasa yang dikirmkannya telah mampu bersembang kepada bentuk rupa dan cahaya, mengundang kita untuk mencari tahu siapa dirinya. Dan yang sungguh istimewa sehingga aku patut mengagumi sajak-sajaknya seolah aku berada pada tempat yang diceritakannya.


Muhtadi, Penulis Sajak Ungkal,
Bermastautin di Tanjungpinang


@htanzil
posted by htanzil @ 6/17/2010 11:49:00 AM   0 comments
Kamis, Juni 10, 2010
[BUKU YG KUBELI] : Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda
Seperti biasa, setiap ada buku sejarah terbitan terbaru yg menarik dari penerbit Komunitas Bambu saya langsung memesannya secara onlen. Lumayan dapat potongan 30 %, sayangnya masih ada ongkos kirim ke Bandung jadi kl ditotal-total ya discount yg kuperoleh kurang dari 30 %. Tapi tak apalah yang penting aku bisa segera memperoleh dan membaca buku bagus ini.

Kali ini buku yang kubeli adalah sebuah buku yang membahas sejarah "Nyai", di zaman Hindia Belanda. Buku ini ditulis oleh Reggie Bay, seorang penulis Belanda kelahiran Indonesia yang neneknya adalah seorang Nyai di Solo.

Buku yang pertama kali terbit di negeri Belanda pada 2008 dengan judul asli " De Njai: Het Concubinaat in Nederlands-Indie ini mengungkap sejarah perempuan Indonesia yang hidup bersama laki-laki Eropa selama masa penjajahan Belanda atau biasa yang dikenal dengan panggilan "Nyai".

Ketika pertama kali terbit, buku ini langsung memikat pembacanya dan masyarakat Belanda pada umumnya yang rupanya masih merasakan keterikatan emosional dengan Indonesia di masa lampau. Buktinya setelah buku ini terbit berbagai tawaran datang pada penulisnya mulai dari tawaran wawancara koran, radio, dan televisi Belanda.

Sebelum buku ini terbit, sepertinya belum ada buku yang membahas studi mengenai Nyai yang menjadi gundik bagi orang Eropa, khususnya Belanda. Bisa dimaklumi karena mungkin hal ini akan mengungkap perilaku aib para pembesar Belanda di tanah koloninya. Karenanya bisa dikatakan bahwa kehadiran buku ini juga bisa dianggap sebagai pendobrak ketabuan perilaku para pembesar Hindia Belanda di masa lampau.

Kalangan pers Belanda menyambut baik buku ini dengan penuh pujian. Dua minggu setelah terbit, buku ini harus dicetak ulang kembali. Sampai 2010 buku ini telah naik cetak sebanyak lima kali. Melihat antusias publik Belanda akan buku ini maka penulis pada Mei 2010 yang lalu meluncurkan karya terbarunya yang berjudul "Potret van Een Oermoeder. Belden van De Njai in Nederlans-Indie, sebuah buku yang berisi kumpulan foto dan gambar Nyai di masa Hindia Belanda. Semoga Penerbit Komunitas Bambu juga kelak akan menerjemahkan dan menerbitkannya di Indonesia.

Kembali ke buku ini, jika dilihat sekilas tampaknya penulis sangat serius dalam menelaah studi mengenai Nyai, jika melihat daftar pustakanya kita akan melihat ada 200 an buku referensi yang dipakainya. Selain itu buku ini juga dilengkapi dengan 17 buah foto yang menarik tentang Nyai. Pokoknya setelah saya baca sekilas, buku ini betul-betul menarik dan wajib dibaca oleh siapa saja yang mau menelusuri sejarah kehidupan para Nyai yang merupakan bagian dari sejarah bangsa kita. Semoga dengan kehadiran buku ini para Nyai akhirnya boleh mendapat tempat yang layak di pangung sejarah Indonesia.

Berikut Deskripsi buku ini :

Judul : Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda
Penulis : Reggie Baay
Penerjemah : Siti Hertini Adiwoso
Penerbit : Komunitas Bambu
Cetakan : I, Juni 2010
Tebal : xx + 300 hlm

Di dalam buku ini terkuak sebuah sisi kelam dari penjajahan yang dilakukan Belanda selama hampir tiga setengah abad di Hindia-Belanda; hubungan pernyaian antara tuan putih (Belanda) dengan perempuan pribumi. Di dalam sistem masyarakat feodal pada saat itu, menjalani hubungan pernyaian diibaratkan memakan buah simalakama—baik bagi tuan putih maupun perempuan pribumi. Sebuah pilihan sulit yang menuntut konsekuensi berat dari kedua pihak. Faktor pendukung, politik maupun intrik yang mendorong lahirnya hubungan tersebut pun diceritakan secara kronologis di dalam buku ini. Kehidupan, duka dan penderitaan perempuan pribumi yang terhimpit keadaan dan menjadi nyai bagi para tuan putih pun tergambar nyata di dalamnya.
Selain itu dipaparkan dengan lugas dampak psikologis, ekonomi, sosial dan budaya dari hubungan pernyaian terhadap kehidupan tuan putih, perempuan dan masyarakat pribumi serta keturunan yang dihasilkan dari hubungan tersebut. Sebagai pelengkap dan pendukung data, di dalamnya juga disajikan biografi dan foto beberapa perempuan pribumi pelaku pernyaian. Yang menarik dari buku ini adalah fakta bahwa penulis sendiri merupakan keturunan dari salahsatu anak hasil pernyaian tuan putih dengan perempuan pribumi. Meskipun demikian, fakta dan bukti mengenai pernyaian pada masa Hindia-Belanda tetap disajikan secara berimbang di dalam buku ini.
Untuk pertama kalinya diungkapkan sejarah mengenai nyai, perempuan Pribumi, Tionghoa, dan Jepang yang hidup bersama lelaki Eropa di masa Hindia Belanda. Sebuah kisah mengenai pemerasan ekonomi, perbudakan dan bagaimana seorang ibu dipisahkan dengan berbagai cara dari anak kandungnya.


“Lewat buku yang dilengkapi literatur tidak kurang dari 200 buah itu, penulis hendak memprotes ketidakadilan terhadap wanita Pribumi oleh penguasa penjajah pada saat itu.” –
Bambang Hidayat (Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2008–2010)

“Reggie Baay telah mendirikan monumen untuk nyai.”
Het Parool

“Buku ini ditulis dengan apik dan menerangkan keseluruhan masyarakat Indies dari sudut pandang yang istimewa dan mempesona.”
Nederlands Dagblad

“Buku menawan mengenai sebuah tema yang tidak
dibicarakan untuk waktu yang lama.”
Historisch Nieuwsblad

*****

Daftar Isi :

Daftar Foto
Pengantar Penulis Ed. bhs Indonesia
Pengantar :: Nyai Moeinah
1. Sebuah Konfrontasi antar-Ras : Pergundikan sampai abad ke-19
2. Tuan dan Pelayan Pribumi
3. Pergundikan dalam Dunia Sipil
4. Pergundikan Tangsi
5. Pergundikan dalam PErkebunan-perkebunan Deli
6. Anak-anak Indo Eropa
7. Gambaran2 lain dari Sebuah Dunia Lain
8. Akhir PErgundikan di Hindia Belanda
Sekali Lagi : Nyai Moeinah
Profil Para Nyai
Glosari
Daftar Pustaka
Indeks

---***---

@htanzil
posted by htanzil @ 6/10/2010 12:10:00 PM   2 comments
Rabu, Juni 09, 2010
[BUNTELAN BUKU] : Cinta Mati - Armaya Junior
Novel ini dibuntelkan langsung oleh penulisnya "Armaya Junior". Ini adalah novel keduanya setelah "An Affair to Forger" yang diterbitkan pada tahun 2008 yg lalu, ulasan sederhananya bisa dilihat di : http://bukuygkubaca.blogspot.com/2008/03/affair-to-forget.html#links

Menurut penuturan penulisnya melalui telpon kali ini novel keduanya ini meruapakan thriller romance. Kl ingat Armaya Junior saya langsung ingat novel pertamanya "An Affair to Forget" yang memasukkan materi ilmu akuntansi di novelnya tersebut, saya sangat mengapresiasinya karena menurut saya sangat jarang atau bahkan mungkin belum ada novel yang memasukkan materi akuntansi dalam sebuah novel.

Apakah di novel keduanya ini ada juga? Kebetulan saya sedang membacanya dan ternyata ada! salut! semoga ini bisa menjadi ciri khas novel2 Armaya Junior kelak.

Terima kasih untuk Bang Armaya Junior yang telah jauh2 dari Medan membuntelkan novelnya ini padaku...sedang kubaca bang!

Seperti apa novelnya, berikut adalah deskripsinya :

Judul : Cinta Mati
Penulis : Armaya Junior
Penerbit : Gagas Media
Cetakan : I, 2010
Tebal : 284 hlm

Lihat aku. Lihat aku saja.

Aku punya semua yang kau butuhkan. Aku akan memberikan semua yang kau inginkan. Tetaplah di sisiku, jangan pergi. Aku tak ingin kau menoleh ke arah lain.

Lihat aku. Lihat aku saja.

Jangan pernah mengkhianatiku. Terpikir sedikit pun jangan. Aku tak bisa membayangkan hidup tanpamu. Aku tak akan membagimu untuk siapa pun. Harusnya kau tahu itu.

Tapi kenapa kau tak hanya melihat ke arahku?

Kau terdiam, menelan sejuta rahasia di dalam rongga mulutmu. Aku tercekat, tak menyangka begini caramu membalas cintaku. Tidak. Kau tak akan lolos semudah itu. Kau milikku. Tak seorang pun boleh memilikimu selain aku.

Cintaiku saja. Atau mati.

@htanzil
posted by htanzil @ 6/09/2010 12:10:00 PM   0 comments
Kamis, Juni 03, 2010
Anton Solihin, Pragmatisme Akut Mahasiswa terhadap Perpustakaan

Perpustakaan itu terletak di Jalan Pramoedya Ananta Toer 142. Tentu saja, nama jalan ini tidak tercantum dalam peta di kawasan Jatinangor, Kab. Sumedang. Sebuah kawasan pendidikan yang dikelilingi oleh institusi pendidikan macam Universitas Padjadjaran, Universitas Winaya Mukti, Institut Kope-rasi Indonesia, dan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis besar dan terkemuka di Indonesia, ditahbiskan menjadi "jalan fiksi" penanda alamat perpustakaan ini.

Perpustakaan itu bernama Batu Api. Begitu kita menginjakkan kaki masuk ke dalam, ruang berukuran se-kitar 7x6 meter dipenuhi oleh banyaknya rak buku. Mayoritas buku-buku yang ada di perpustakaan ini merupakan kajian-kajian humaniora (sejarah, filsafat, budaya, agama, politik, dsb.). "Yang enggak ada cuma komik Jepang," tutur Anton Solihin, empunya perpustakaan ini. Selain buku-buku bertema humaniora, terdapat juga kumpulan kliping koran dan majalah yang telah terbundel rapi. Misalnya, tiga bundel kliping Majalah musik Aktuil, hingga klipingan koran mulai dari tentang dangdut, budaya daerah, hingga soal politik.

Perpustakaan ini pun tak hanya menyajikan buku, tetapi juga pelbagai film-film yang menandai dunia art-ci-nema modern ini. Kita bisa menemukan koleksi film-film sineas Prancis macam film-nya "Bande a Part" karya Jean Luc Godard, atau film "Jules and Jim" karya Francois Truffaut, atau karya-karya dari Robert Bresson, Jacques Tati, Jem Renoir, hingga karya-karya film mulai dari Italia hingga ranah Skandinavia bahkan dunia sinema Asia seperti India, Cina, Iran, Korea, dan Jepang tertata dalam koleksi perpustakaan ini. Bahkan tak hanya dari tanah asing, perpustakaan ini pun dengan baik menyimpan dan mendokumentasikan film-film berkualitas dari tanah sendiri macam "Bandung Lautan Api" (Alam Surawidjaja, 1974), "Kabut Sutra Ungu" (Sjuman Djaja, 1979), hingga "Secangkir Kopi Pahit" (Teguh Karya, 1985). "Koleksi dalam perpustakaan ini untuk buku sekitar 8.000 judul, kalau film sekitar 2.000 judul, kalau musik lupa deh berapa yah," ujar Anton.

Perpustakaan yang berdiri sejak tahun 1999 ini memang menjadi oase di tengah kekakuan perpustakaan formal yang ada di institusi kampus-kampus. Apalagi Jatinangor sebagai sebuah kawasan pendidikan berada di simpang jalan ketika hadirnya mal Jatinangor Town Square seakan menjadi daya magnet tersendiri bagi para mahasiswa di kawasan Jatinangor diban-ding dengan maraknya komunitas li-terasi atau jumlah perpustakaan di kawasan tersebut. "Paling-paling juga banyak rental komik dibandingkan dengan perpustakaan yang banyak tersebar di Jatinangor," ujar Anton.

Wawancara yang dilakukan pada Selasa (1/6) di Perpustakaan Batu Api dengan sang pengelola Anton Solihin ini banyak menyoroti soal apreasi daya baca hingga alam pikir praktis dan pragmatis dunia mahasiswa dalam menyelami dunia perpustakaan.



Apa sih yang paling penting dalam sebuah penyelenggaraan perpustakaan?

Yang paling penting itu apresiasi. Apresiasi jadi penekanan penting dalam penyelenggaraan perpustakaan karena berdasarkan pengalaman saya, banyak orang yang tidak mengenal buku, film, dan musik yang bagus dan berkualitas. Penyebabnya mungkin saja karena sejak pendidikan dasar tidak dididik untuk memiliki rasa ingin tahu yang besar. Banyak kasus seperti ini di dunia mahasiswa jadinya. Mereka tidak memiliki rasa ingin tahu dan kebutuhan akan informasi yang lebih luas. Misal, banyak mahasiswa sejarah yang tidak menyukai kesejarahan atau banyak mahasiswa sastra Inggris yang tidak suka sastra-sastra Inggris.

Sebagai perpustakaan yang berdiri di kawasan pendidikan dan dikelilingi banyak kampus, apakah ini menjadi paradoks bagi para mahasiswa dalam mengapresiasi perpustakaan itu sendiri?

Pada saat awal saya buka perpustakaan, harapan saya besar terhadap keberadaan perpustakaan ini. Apalagi berdiri di kawasan pendidikan kayak Jatinangor. Saya berharap akan menjadi penyalur informasi dan menyediakan referensi tersendiri. Koleksi perpustakaan ini merupakan buku-buku yang saya dapat banyak di tempat buku bekas kayak di Palasari atau Cihapit. Namun, awalnya saya tidak begitu ambil pusing untuk kebutuhan mahasiswa. Misal, ketika saya dapat komplet majalah Intisari atau dapat buku-buku humaniora tua, tetapi ternyata kebanyakan mahasiswa tidak tertarik dengan hal-hal semacam itu. Setelah saya amati, ternyata kebutuhan mahasiswa itu sangat praktis. Misalnya, seorang mahasiswa sedang mendapat tugas untuk meneliti keris, maka yang ia cari di koleksi perpustakaan ini yaitu buku yang berjudul keris. Ia tidak akan mau ketika disodori buku misalnya mengenai benda-benda tajam. Yah, analoginya seperti itu. Jadi, akhirnya lima tahun terakhir saya mencoba untuk beradaptasi dan mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan semacam itu. Ketika kebutuhan mahasiswa jurusan sastra Rusia untuk mendapatkan buku-buku sastra Rusia itu susah mereka dapat di perpustakaan kampusnya, akhirnya saya perbanyak buku-buku sastra Rusia berbahasa Indonesia. Atau buku-buku naskah drama atau buku lingkungan, yang memang tidak tersedia di perpustakaan kampus mereka. Banyak kasus menarik kayak gitu.

Karena kebutuhan dunia mahasiswa yang terlalu praktis dan pragmatis, bagaimana mengakomodasi kebutuhan mahasiswa?

Ketika saya mencari-cari buku, berdasarkan selera pribadi saya dulu tentu saja buku yang bakal saya pilih. Kadang saya tidak peduli jika buku itu ternyata tidak dipinjam oleh mahasiswa. Saya berpikir, hanya untuk "menyelamatkan" atau mendokumentasikan buku-buku langka tersebut. Kemudian saya berpikir untuk menekankan apresiasi para mahasiswa terhadap buku-buku. Beberapa tahun lalu, saya banyak membeli buku-buku psikoanalisis macam Erich Fromm dan Sigmund Freud atau buku-buku semiotika Roland Barthes. Awalnya, jarang banget yang pinjam. Namun sekarang, ternyata mengalami lonjakan sangat tajam karena kajian itu memang lagi tren di dunia mahasiswa jurusan sosial. Dulu, di perpustakaan ini saya menyediakan komik-komik Jepang, tetapi ternyata itu jadi tekanan tersendiri. Itu menuntut update tiap minggu. Itu yang memberatkan. Malah banyak mahasiswa yang justru meminjam komik Jepang dibandingkan dengan buku. Sekarang, komik itu sudah saya hilangkan sehingga di sini hanya tersedia buku teks saja.

Apa perbedaan kentara dengan kehadiran mal di Jatinangor bagi perpustakaan Batu Api. Keberadaan sebuah perpustakaan di kawasan pendidikan yang tarik-menarik dengan sebuah mal yang lebih banyak menawarkan sisi hiburan, apa yang menjadi daya saing perpustakaan untuk menarik minat mahasiswa itu sendiri?

Tekanan seperti itu memang terasa. Sekarang setelah terbangunnya mal Jatinangor Town Square (Jatos), hiburan bagi para mahasiswa jadi lebih mudah. Mal telah menyediakan dan menyajikan pelbagai hiburan yang menarik minat mahasiswa. Kalau yang saya perhatikan, dulu sebelum berdirinya mal banyak komunitas-komunitas di Jatinangor yang rutin menyelenggarakan acara kayak bedah buku atau nonton film bareng, tetapi sekarang kuantitasnya memang jadi berkurang. Namun tetap saja, saya melihat perpustakaan Batu Api dilihat dari sisi alternatif. Tiap malam kita memutarkan film yang notabene tidak akan tayang di bioskop dalam mal. Saya melihat justru ruang-ruang kecil macam perpustakaan Batu Api ini sebagai sepercik perlawanan. Sebab, yang saya lihat sekarang kondisi sosial ini seperti diseragamkan. Seperti tiap saya pergi kemanapun saya seolah dibombardir dengan pelbagai budaya popular yang cenderung seragam. Tiap kali saya makan di restoran musiknya melayu macam ST12, atau pergi ke mal musiknya juga pop melayu yang sama. Untuk itu, saya melihat perpustakaan Batu Api menyediakan alternatif pilihan bagi para mahasiswa dalam mengkonsumsi informasi agar konstruksi sosial yang terjadi tidaklah begitu seragam, misalnya kalau mau mendengarkan musik Sunda buhun atau gamelan bisa datang ke Batu Api.

Lantas apa yang membuat Batu Api bisa bertahan?

Salah satu yang membuat Batu Api bisa bertahan karena memang saya tidak mengontrak sewa tempat. Ini murni merupakan rumah saya pribadi. Banyak komunitas-komunitas di Jatinangor yang membuat hal serupa, misal bikin perpustakaan-perpustakaan di Jatinangor, tetapi mereka cepat kolaps karena memang biaya sewa tempat yang begitu mahal. Pendapatan memang belum bisa diharapkan banyak.

Ketika informasi sudah menjadi sesuatu yang penting, apa yang Anda lihat dari daya baca mahasiswa?

Tidak banyak berubah. Dunia mahasiswa sudah terlalu akut dengan cara praktis dan pragmatismenya. Mahasiwa datang dan pinjam buku sebatas untuk tugas kuliah atau buku yang memang dikonstruksi positif oleh media. Ketika media bilang buku ini bagus, baru mulai banyak diburu orang. Masih sangat jarang muncul inisiatif dari mahasiswa untuk mencari informasi di luar konteks tugas kuliah atau skripsi. Namun, saya melihat perpustakaan ini memang menjadi sebuah pilihan lain dari perpustakaan-perpustakaan formal di kampus. Kayak, anak-anak dari jurusan eksakta (matematika, fisika, kimia) datang ke sini karena memang mencari buku-buku humaniora yang tidak disediakan di perpustakaan mereka. Perpustakaan-perpustakaan formal di kampus-kampus itu sangat kaku. Maksudnya, hanya menyediakan buku-buku yang sesuai dengan jurusan mereka. Jadinya, mahasiswanya juga begitu. Anak sastra Inggris hanya baca buku-buku sastra Inggris, anak Fisip hanya baca-baca buku soal demokrasi dan politik, atau anak Fikom hanya baca buku seputar komunikasi. Padahal ilmu itu sudah sangat multidimensi. Namun, alam pikir praktis dan pragmatis di dunia kampus itu sudah sangat kuat di dunia mahasiswa jadinya. Apalagi dengan munculnya internet. Yah, dunia praktis dan pragmatis makin tambah jadi. (Idhar Resmadi) ***
posted by htanzil @ 6/03/2010 12:54:00 PM   1 comments
Berbagi Referensi untuk Publik

Ketika pendiri perpustakaan Rumah Buku, Ariani Darmawan melanjutkan sekolah seni di Chicago pada medio 2000. Ia heran, ketika akses publik terhadap informasi di negara maju sangatlah terfasilitasi. Salah satunya adalah masifnya pertumbuhan perpustakaan kota, yang tumbuh di setiap penjuru kota. Rumah Buku yang didirikan pada 2003, memang hanya bermodal semangat berbagi. Ia ingin membuat satu alternatif pusat referensi, di mana setiap orang bisa mengakses dengan mudah. Apalagi, di Indonesia persoalan akses merupakan hambatan paling utama dalam memperoleh informasi.

Dengan koleksi buku-buku mayoritas impor, Rumah Buku pun dibangun terbuka untuk publik. Untuk membaca di tempat, publik tak dikenakan biaya. Kecuali, untuk meminjam buku harus menjadi anggota terlebih dahulu. Berawal dari buku koleksi pribadi sekitar empat ratusan buku, kini koleksi Rumah Buku kini mencapai ribuan buku dengan anggota mencapai sekitar 1200-an.

"Yang paling penting dalam dunia perpustakaan yaitu publik bisa mengakses. Ketika perpustakaan lain tidak menyedia-kan buku-buku humaniora berbahasa Inggris nah, di tempat kami menyediakannya," kata pengelola Rumah Buku, Budi Warsito.

Kini, Rumah Buku menjadi pilihan publik ketika ingin mengakses buku-buku berbasis humaniora dalam bahasa Inggris. Selain itu, disediakan pula perpustakaan film-film art-cinema dan perpustakaan musik, baik dalam genre musik popular maupun etnik-kontemporer.

Salah satu akses yang dimanfaatkan untuk memperoleh dan menyebarkan informasi yaitu internet. Sementara internet sebagai ruang publik, menjadi medan yang otonom bagi publik untuk memanfaatkannya termasuk dalam dunia perpustakaan. Setelah maraknya dengan perpustakaan digital, di mana suatu perpustakaan yang berkonvergen dengan dunia internet. Kini, di tengah semaraknya perkembangan teknologi informasi, kita bisa mencermati maraknya perkembangan perpustakaan online. Perpustakaan jenis itu menyediakan pelbagai jurnal penelitian, electronic books (e-books), hingga makalah-makalah baik secara gratis maupun berlangganan `hanya, di internet. Publik bisa mengunduhnya kapan pun jua dan di mana saja. Penyebaran informasi yang mendobrak batas akses terhadap publik disinyalir memberikan otonomi kepada publik, untuk meraih informasi yang dibutuhkannya.

Salah satunya adalah perpustakaan online yang beralamatkan di www.pustaka-ebook.com. Menurut data profil yang tercantum dalam situs tersebut, perpustakaan online ini dibangun oleh satu perpustakaan pribadi bernama Perpustakaan Hanan yang berlokasi di Medan. Perpustakaan ini dalam rilisnya, diharapkan menjadi media yang dikelola secara online untuk berbagi alternatif bahan bacaan untuk publik, yang menggemari dan intens di dunia komputer. Tajuk perpustakaan ini sendiri yaitu "Download Ebook Gratis, jurnal, artikel, essai, resume, etc.".

Konten yang disajikan dalam perpustakaan online ini memang mayoritas berisi tips dan trik di dunia komputer, yang diunduh dalam format PDF. Ada juga pelbagai artikel dan essai, serta resensi-resensi buku. Jangan khawatir soal hak cipta, dalam perpustakaan online sudah ada pedoman mengenai hak cipta, yang bisa dibaca oleh publik yang mengakses situs tersebut.

Rumah Buku dan www.pustaka-ebook.com merupakan secuil contoh perpustakaan, yang dilandasi semangat berbagi entah menggunakan berbagai media apa pun. Sebab, baik itu dalam dunia nyata maupun dunia maya, semangat berbagi informasi dan menyebarkan pendidikan merupakan poin penting dalam dunia perpustakaan.

"Semangat untuk berbagai informasi dan referensi adalah salah satu akses pen-ting dewasa ini dalam menyebarkan pendidikan," ujar Budi Warsito memaparkan pandangan filosofisnya soal dunia perpustakaan.

(Idhar Resmadi, mahasiswa Unpad) ***

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=142809
posted by htanzil @ 6/03/2010 12:49:00 PM   0 comments
Berharap Perpustakaan tak Seperti Tokek

Berharap Perpustakaan tak Seperti Tokek

Sudah menjadi kredo usang jika masyarakat kita memang terbiasa dan dibesarkan dengan budaya lisan. Di tengah gagapnya masyarakat terhadap dunia literasi, bagaimana dunia perpustakaan menemui titik terangnya sebagai pelita dalam gelap bagi keberlangsungan masyarakat informasi di Indonesia dewasa ini?

Penulis-cum-penyair Goenawan Mohamad pernah menganalogikan bahwa dunia buku di Indonesia bak hewan tokek. Analoginya bersumber dari pergerakan budaya praliterer menuju budaya pascaliterer di mana dominasi benda-benda visual macam televisi, handphone, dan internet telah mengepung masyarakat Indonesia sehingga kehilangan lingkungan budaya membaca buku. Maka, buku pun ibarat tokek, makhluk yang terancam punah. Padahal, kalau menilik fakta yang ada, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sudah terbilang melek huruf.

Laporan Unesco 1993 mencatat bahwa sekitar 84 persen masyarakat Indonesia sudah melek huruf dan angka tersebut jauh di atas rata-rata negara berkembang yang cuma berkisar 69 persen. Laporan tersebut menunjukkan bahwa nilai kuantitatif tersebut belum menunjukkan kualias yang mumpuni. Banyak orang yang bisa membaca, tetapi belum memahami apa yang dibacanya. Selain itu, masih kurangnya akses dalam memperoleh informasi bagi semua kalangan masyarakat secara luas.

Perpustakaan sebagai salah satu akses ma-syarakat dalam memperoleh informasi dan refe-rensi, memang menjadi pelita utama bagi masyarakat umum. Namun, kajian budaya pendidikan menurut pakar komunikasi, Idy Subandi Ibrahim, dalam buku Budaya Populer Sebagai Komunikasi (2007) mencatat bahwa penyebab perpustakaan kurang "bergaung" di masyarakat karena letak lokasi yang tidak strategis, minimnya koleksi, juga ditambah dengan pelayanan dan fasilitas yang kurang memberikan kenyamanan bagi para pengguna.

Menurut dia, standardisasi perpustakaan, baik di tingkat daerah maupun institusi formal macam sekolah pun berada di titik mencemaskan. Seperti, dari 200.000 SD hanya sekitar satu persen yang punya perpustakaan standar. Untuk tingkat yang lebih tinggi seperti perguruan tinggi, hanya sekitar 60 persen yang memenuhi standar dari sekitar empat ribuan perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia. Bahkan, yang paling parah adalah pola pikir praktis dan pragmatisme akut yang mendera dunia mahasiswa sekarang ini. Sebagai indikator, secara kasat, mahasiswa baru berkunjung ke perpustakaan bila ada kaitannya dengan tugas kuliah ataupun mengerjakan skripsi. Minat baca di perpustakaan masih belum menjadi kebutuhan dasar dalam memperoleh informasi atau pendidikan.

"Mahasiswa hanya berkunjung ke Perpustakaan Batu Api ini ketika mereka mendapat tugas dari dosen. Makanya, ada salah satu koleksi buku yang tiap tahun pasti dipinjam karena dosennya selalu menyuruh meresensi buku itu tiap angkatan," ujar Anton Solihin, pemilik Perpustakaan Batu Api di kawasan pendidikan Jatinangor. "Buku belum menjadi kebutuhan dasar mahasiswa untuk memperoleh informasi secara lebih luas. Gaya hidup mereka belum terbentuk seperti itu," ujarnya ironis.

Dalam rangka merayakan Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei, perpustakaan telah menjadi sorotan utama dalam meningkatkan kualitas literasi di masyarakat Indonesia. Menurut Ketua Pengurus Daerah Gerakan Pemasyararakatan Minat Baca Jawa Barat Periode 2010-2014 Oom Nurrohmah, tugas pemberdayaan literasi di masyarakat bukan semata mutlak tugas pemerintah semata. Keberadaan perpustakaan di ruang publik pun perlu disikapi bahwa keberadaan sinergi antara kebutuhan membaca dan ruang publik untuk membaca di perpustakaan sebagai satu hal yang signifikan dalam mengembangkan gaya hidup membaca buku.

"Konsep perpustakaan yang baik ketika ia me-ngenai tepat sasaran. Untuk itu, perpustakaan keliling ditempatkan di ruang publik. Karena perpustakaan yang baik tak sekadar member informasi, tapi juga bisa menjadi wadah masyarakat agar produktif dan menyangga ekonomi dan pendidikan," kata Oom Nurrohmah.

Plaza Palaguna

Salah satu isu santer yang kencang berembus di Bandung mengenai isu dunia pustaka, yaitu rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang akan menetapkan gedung perbelanjaan Plaza Palaguna Nusantara yang bertempat tepat di depan Alun-Alun Bandung, menjadi ruang terbuka hijau (RTH) yang dilengkapi dengan perpustakaan bertaraf internasional.

Usulan itu dilatarbelakangi karena terbengkalainya gedung mal selama tujuh tahun terakhir ini. Manfaat paling penting kehadiran perpustakaan yang berlokasi di tempat strategis macam alun-alun menjadi oase minimnya keha-diran perpustakaan umum yang memudahkan akses untuk publik. Selama ini, perpustakaan yang bertebaran di Bandung hanya sebatas akses milik universitas yang spesifik sesuai dengan bidang keilmuan di kampus tersebut

Kehadiran isu ini pun diapresiasi oleh masyarakat Kota Bandung. Salah satunya dengan akun grup Facebook "Satu Juta Dukungan Palaguna Jadi RTH dan Perpustakaan". Kehadiran perpustakaan di ruang publik strategis di alun-alun memang selain diharapkan meningkatkan budaya literasi, juga di sisi lain menjadi katalis peningkatan ruang publik karena dikelilingi pelbagai sektor, misalnya kawasan perdagangan, perkantoran, dan Masjid Raya. Salah satu poin pen-tingnya ketika rencana terealisasi, yaitu dengan membentuk satu kawasan rekreasi pustaka, perpustakaan yang dilengkapi dengan pelbagai model edutainment.

"Mubazir kalau Gedung Palaguna terbengkalai begitu saja. Konsep lebih tepat kalau dibuat semacam wisata edukasi atau membuat perpustakaan dengan semacam rekreasi pustaka yang menggabungkan dengan nilai-nilai gaya hidup sehingga perpustakaan tidak terlihat kaku dan `menyeramkan` di mata masyarakat," ujar Oom Nurrohmah. "Penyelenggaraannya juga mesti tidak kaku, dipadukan dengan kafe, mungkin," ucapnya menjelaskan.

Rekreasi

Menurut Oom, sangat menarik mencermati pengembangan perpustakaan bila dilengkapi de-ngan gaya hidup. Dunia literasi pun diharapkan bisa lebih berkembang karena semakin dekat de-ngan masyarakat. "Pada intinya, perpustakaan harus dibuat menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Apalagi, masyarakat Indonesia sangat senang dengan konotasi `rekreasi`, apalagi kalau dipadukan dengan kata edukasi," tutur Oom.

Hal senada sesuai dengan perkembangan perpustakaan-perpustakaan alternatif yang tersebar di Bandung. Jika menyebut nama, Rumah Buku yang berada di daerah Hegarmanah dan Perpustakaan Batu Api di Jatinangor, mencoba mendekatkan perpustakaan menjadi semacam rekreasi pustaka yang kental dengan nilai-nilai gaya hidup. Tak hanya membaca buku, tetapi dikombinasikan dengan musik atau pemutaran film, misalnya.

"Anak-anak zaman sekarang memang kental dengan nilai gaya hidupnya. Untuk itu, perpustakaan jangan dibuat seram," tutur Budi Warsito, pengelola perpustakaan Rumah Buku.

Menurut dia, perpustakaan terutama perpustakaan formal seperti perpustakaan umum dan kampus kental dengan stereotip angker dan membosankan. Kehadiran perpustakaan Rumah Buku hadir untuk membongkar stereotip angker dan seram itu dengan menyajikan nuansa yang ru- mahan, nyaman, dan dilengkapi dengan perpustakaan musik dan film serta ruangan bioskop mini.

Perpustakaan pun jika bisa menjadi wahana rekreasi edukasi, ia boleh mengklaim tidak bernasib seperti tokek. Ia boleh bersinergi membentuk suatu gaya hidup baru.

"Agar budaya literasi dan perpustakaan tidak hilang, diperlukan suatu gerakan mengakar di seluruh elemen masyarakat, dalam artian semua komponen mesti bergerak. Perlu satu pemahaman dan persepsi kalau perlu membaca bisa jadi gaya hidup. Mahasiswa atau remaja harus merasa keren dan bangga setelah membaca buku yang edukatif dan berkunjung ke perpustakaan," ucap Oom Nurrohmah, berharap.

(Idhar Resmadi, mahasiswa Unpad)***



sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=142810
posted by htanzil @ 6/03/2010 12:32:00 PM   0 comments










Pemilik Pondok
Sang Pemilik : htanzil
Tinggal di : Bandung, Indonesia
Rumah Utama : Buku Yang Kubaca


Lihat Profil Lengkap
Jam Dinding

Ruang Bicara


10 Tulisan Terbaru
Rak Penyimpanan
Jaringan
Serba Serbi

Free Blogger Templates



BLOGGER